Pada 29 Oktober lalu, kita mendapatkan kabar bahwa pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT 610 jatuh di perairan Karawang setelah 13 menit take off dari Bandara Soekarno-Hatta (CGK) menuju Bandara Depati Amir (PGK). Sekali lagi, kita diterpa kabar menyedihkan dari dunia penerbangan. Membuat ketakutan untuk ikut lepas landas kembali menyelimuti. Gue mau cerita sedikit pengalaman terbang gue awal tahun lalu yang cukup berbekas hingga sekarang. Ini bahkan menjadi pengalaman paling mencengangkan selama 2018.
Kebetulan gue duduk di dekat pintu darurat namanya emergency exit seat. This is the first time for me sitting here. Saat check-in, penumpang bisa memilih tempat duduk yang diinginkan (Jujur gue baru tau, biasanya gue terima terima aja duduk dimana, kirain berdasarkan urutan...). Karena kami jarang naik pesawat, ntah berapa tahun sekali, maka lokasi tempat duduk di pinggir jendela itu penting, sang kakak menasihati, dengan tambahan--jangan dekat sayap pesawat, suapaya pemandangan dari langit ga kehalang aja. Ternyata udah penuh, yang tersisa hanya jendela yang dekat pesawat, yah gue sih oke oke aja. Never cross in my mind, sitting near the wing means sitting in emergency exit seat! Beners ih, logikanya deket sayap kan bisa jadi tempat keluar darurat, cuma emang ga kepikiran aja waktu itu. Pas naek ke pesawat barulah sadar akan keistimewaan bangku tersebut.
Keistimewaan Emergency Exit Seat antara lain, tempat kaki yang luas, dengan kata lain jarak dengan tempat duduk di depannya jauh. Wajar saja, katanya kalau penerbangan pagi, tempat ini diperebutkan. Kenyamanan. Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk duduk di bangku spesial ini. "Maaf ibu, anaknya udah di atas 14 tahun?" begitu kata pramugari bertanya pada Bunda yang kebetulan duduk di samping gue. Entah 14 tahun atau 18 tahun yang ia katakan, well, I'm twenties. Dateng lagi pramugari lain, "Maaf mbak usianya berapa?" Ini orang pada ragu apa yaa... Setelahnya si mbak pramugari mulai menanyakan kesediaan penumpang yang duduk berjejer di dekat jendela darurat. Gue sampe ditanyain lebih dari sekali "Kira-kira mbak sanggup dan bersedia membantu kami dalam keadaan darurat?" kurang lebihnya begitulah. "Kalau tidak sanggup bisa kita ganti tempat duduknya, ga pa pa." lagi si pramugari meminta ketersediaan. Ya gue sih merasa snaggup-sanggup aja karena gue memenuhi kriteria yang diharuskan walau tebersit sedikit keraguan karena mereka memastikannya berkali-kali. Yah, gue yakinkan semua akan baik-baik saja lalu membaca doa.
Berdasarkan CASR 121.585 dan UU No.1 Tahun 2009, berikut syarat yang harus dipenuhi penumpang yang ingin memesan tempat duduk khusus ini:
1. penumpang berusia lebih dari 15 tahun
2. Bukan orang dewasa yang membawa
bayi/anak, ibu hamil
3.Bukan penumpang yang mempunyai keterbatasan gerak,
pendengaran, penglihatan, termasuk penumpang obesitas/oversized (height
& weight) dan penumpang lansia (usia lanjut).
Setelah kita di-briefing secara khusus mengenai cara membuka pintu darurat, ada pula kejadian yang cukup merisihkan. Salah satu penumpang dilarang ikut dalam penerbangan karena sedang hamil tua. Ya wajarlah ya, maskapai penerbangan 'kan selalu mementingkan keamanan para penumpangnya, ya nurut ajalah kalo ga dibolehin terbang. Eh, ini malah bikin penumpang lain tidak nyaman, bukan si ibunya sih yang protes tapi adiknya. Kalau perlu dipertegas saat pembelian tiket bahwasanya penumpang bukanlah ibu hamil yang melebihi berapa bulan gitu. Para staf memberikan pemahaman dan meminta ibu bersangkutan kembali ke bandara. Entah bagaimana memang pada akhirnya si Ibu tidak jadi ikut terbang. Memang awal tahun, Indonesia masih dalam musim hujan. Cuaca menjadi faktor penting yang dipertimbangkan saat lepas landas.
Lepas landas sekitar pukul 7. Cuaca di langit memang sedang hujan. Penerbangan alhamdulillah memang tidak berjalan begitu mulus tapi setidaknya kita aman dalam pesawat. Karena malam sebelumnya gue begadang dan belum sempet tidur sampe malam itu, gue pun udah pasang kuda-kuda buat tidur. Saat sedang memasuki REM pertama, kehebohan terjadi. Pesawat kami dipenuhi oleh rombongan ibu-ibu yang sedang berlibur bersama membuat kehebohan semakin menjadi. Pesawat bergerak naik dan turun dengan terjal. Berkali-kali seperti tersandung batu besar. Kecepatan yang terasa ada yang mengganjal. Hujan di luar ternyata semakin deras. Bacaan ayat suci semakin menjadi-jadi memenuhi seantero ruang penumpang. Pilot menginfokan dengan mengonfirmasi bahwa hujan petir terjadi di langit Palembang namun semuanya dalam kendali. Tidak ada kerusakan pesawat. Jujur setidaknya itu harusnya membuat penumpang menjadi lebih tenang, tapi tidak pada faktanya. Pergerakan pesawat yang tidak biasa membuat ketakutan menyelimuti para penumpang.
Pesawat tetap berada di atas langit Palembang berputar-putar kurang lebih 20 menit untuk menantikan waktu yang tepat agar bisa mendarat, begitu kata pilotnya. Lagi, pilot meyakinkan penumpang bahwa semuanya dalam keadaan terkendali. Ga adalah istilahnya gagak terbang terus nyangkut di puteran pesawat, ga ada itu. Dua puluh menit yang begitu mencekam bagi para penumpang. Yang gue lakuin, ya ikutan baca ayat suci tanpa mengelurkan suara sembari menyusun langkah-langkah untuk membuka pintu darurat ketika perintah itu diberikan. Gue bersiap-siap sebisa mungkin. Bunda memegang tangan gue udah dari tadi semakin kuat genggamannya ketika gerakan pesawat bergejolak, semakin kencang pula teriakan para penumpang. Kalau misalnya ada bayi dalam pesawat itu bisa bayangin gimana histerisnya tangisan anak kecil digabung dengan teriakan panik ibu-ibu. Wahai ibu yang diminta turun sebelum lepas landas, bersyukurlah, Tuhan masih baik padamu, Ikutilah peraturan yang ada, karena peraturan dibuat dengan landasan yang konkrit, ga ada lah peraturan asal buat. Bayangkan di tengah kepanikan lalu sang ibu kontraksi karena tekanan yang ia alami di pesawat. Sungguh ini bukan film. Dan syukurlah memang tidak terjadi.
Kurang lebih seperti waktu yang dijanjikan, 20 menit yang begitu kelam masa depannya itu berakhir. Alhamdulillah kami mendarat dengan selamat di bandara Sultan Mahmud Badaruddin II. Ucapan syukur berhamburna di udara. Hal yang dilakukan Bapak karena kebetulan orang yang membuat kerisihan sebelum take off duduk di sebelahnya adalah....kembali menegurnya. Pengalaman yang huft....lumayan membuatku takut untuk naik pesawat lagi LOL.
Sekian pengalaman paling berkesan tahun 2018 gue. Yuk share pengalaman berkesan kalian di tahun ini! Flashback dikit lah dengan apa aja yang udah lo lakuin selama satu tahun ini. Apakah sudah cukup memuaskan? Atau kebanyakan buang-buang waktu?
Karena 1 tahun atau 365 hari itu sungguh sangat sebentar. Aliran waktu yang begitu cepat tidak akan terasa hingga kau memiliki karya sebagai bukti waktu yang dihabiskan.
Sumber: komik ReLIFE |