apa penilaian yang kalian pertimbangkan ketika akan membeli sebuah buku? apa yang membuatmu tertarik untuk memilikinya? apakah itu karya penulis favoritmu? ataukah sekuel dari buku sebelumnya? atau berdasarkan review yang kau baca dari internet? Untukku, Judul adalah pemikat utama. Terlepas dari siapa penulisnya. Itulah kenapa, koleksi bukuku dipenuhi oleh satu karya dari penulis berbeda. Curriculum vitae milik Benny Arnas (aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama), Teka-teki Terakhir karya Annisa Insani, dan yang terakhir kubaca (sebelum buku ini) yaitu salah satu mahakarya penulis klasik asal negri para wibu berkiblat, Kappa dari Ryunosuke Akutagawa. Khusus yang terakhir, aku juga tertarik untuk membaca buku berjudul Rashomon tapi tampaknya stok buku tidak mempertemukanku. Namun, kecendrungan yang secara tidak langsung berakhir menjadi kebiasaan ini tidaklah berlaku untuk serial novel detektif seperti Hercule Poirot-nya Agatha Christie. Iya, aku mengoleksinya semacam mood booster juga-lah.
Konspirasi Alam Semesta. Terbesit bahwa buku ini akan bercerita tentang hal ihkwal berhubungan dengan fiksi ilmiah atau okelah kalau misalnya bercerita tentang romansa paling tidak sedikit menyangkut ke sana, fiksi ilmiah. Haha. Aku tertipu. Dan memang inilah sensasi yang kau rasakan jikalau memilih buku hanya dari judul. Ini selalu terjadi padaku.
Pertama kau akan dikejutkan dengan berbagai judul lagu. Yang katanya, akan sangat pas dinikmati sambil membaca buku ini. Kutilik lagi sampul buku. Ah, ini memang albuk. Sempat akan menyerah selesai membaca bab pertama karena genrenya romance banget, yang notabenenya ga gue banget. Hal yang membuatku bertahan melanjutkan buku ini adalah gaya bahasa dan tentu saja disertai diksi yang tepat. Santunmu bagai dimanjakan kata-kata. Selanjutnya, pemilihan nama tokoh utama yang tak tanggung-tanggung. Juang Astrajingga dan Ana Tidae merupakan kombinasi nama yang tidak pasaran. Nama tersebut berhasil mempresentasikan karakternya seketika itu juga. Juang--si tokoh utama berwatak pria idaman gadis zaman sekarang--dengan karakter keras, tegas, bebas, tampannya berandalan, berprofesi sebagai jurnalis. Ana--ringkasnya pacarnya Juang--dengan karakter lembut, bunga kampus, pintar, namun memiliki luka masa lalu. Dari sini kita sudah memprediksi bahwa Juang-lah yang menguatkan Ana. Daripada Juang, Fatah adiknya Juang membuatku lebih tertarik. Perjuangannya mengejar cita-cita memang tidak seperti Juang yang rela angkat kaki dari rumah karena tidak mendapat restu ayah. Klasik terjadi di dunia fiksi. Namun memang inilah yang terjadi di realita. Fatah sebagai anak terakhir menjadi harapan terakhir kedua ornag tua yang telah membesarkan mereka untuk menuruti kehendak dua sosok terhebat hidup mereka. Fatah mengalah karena ia tidak punya pilihan lain. Mungkin Fatah juga ingin kebebasan seperti Juang namun ia pendam demi memafhumi sifat kakak, ayah, dan ibunya.
Perseturuan dingin antara Juang dan ayahnya membuat Juang memutuskan kontak dengan keluarganya. Fatah bahkan harus menyelidiki sang kakak melalui sosial media ketika ibu mereka ingin tahu kabar cahaya semesta pertama. Juang yang liar pun memang membuat orang sekitarnya khawatir. Tapi itulah yang menyebabkan Ana jatuh hati dan tidak ingin melepasnya. Kejutan-kejutan yang tidak mainstream untuk Ana membuat siapapun yang membaca turut terbawa suasana.
Alur ceritanya memang mirip dengan cerita romance ala ala... ftv mungkin? Dimana tokoh utama pria yang pertama muncul akan berpasangan dengan tokoh utama wanita yang juga muncul pertama. Ini sering terjadi tidak hanya di ftv tapi di anime juga. Tidak konspirasi namanya jika konflik yang terjadi sama seperti ftv yang tayang 2 jam selesai. Buku fiksi ini menyuguhkan berbagai konflik mulai dari pertemuan dua manusia di waktu yang tidak tepat dengan orang yang (mungkin) tepat, perginya orang terkasih, profesi yang penuh tantangan, hubungan jarak jauh yang tidak berkabar, perjuangan hidup dengan melawan masa lalu, hingga akhir cerita yang tidak akan ada spoiler-nya di sini. Sedikit yang membuatku risih adalah bagian dimana salah satu sosok terpenting dalam hidup Juang menghembuskan nafas terakhirnya. Entah mengapa, tragisnya sedikit kurang terasa. Mungkin karena rinciannya kurang intens dijelaskan. Adapun pertengkaran Ana dengan sahabatnya saat Ana sedang dalam kondisi tidak berdaya. Ini dibuat sedemikian rupa sehingga kau akan membenci sesosok manusia. Ada yaa orang macam itu? kau akan memikirkan hal itu. Walau kejadiannya terkesan tidak natural, tapi tidak bagus juga jika bagian tersebut dihilangkan.
Bagian yang paling kusuka adalah cerita Juang tentang perjalanannya menyusuri Papua. Papua dengan segala suka dukanya. Papua dengan sulitnya akses ke sana. Papua dengan sejarahnya. Papua dengan orang-orangnya. Ya, negara ini memang memiliki berbagai muka, tapi bukankah kita tetap satu jua? Nasionalisme yang disisipkan di buku ini membukakan mata kita. Bahwa selagi hidup kita berjalan, ada hidup saudara kita yang juga berjalan dengan kondisi tidak senyaman kita. Bersyukurlah kau yang masih bisa membaca tulisanku ini dengan bebasnya atau tulisan bung fiersa besari dengan begitu khidmatnya. Cerita tentang Papua menjadi nilai plus plus buku ini.
Entahlah, aku tidak membaca novel genre romance, jadi aku tidak tahu kualitas romansa yang terjadi di novel ini sudah 100% atau belum. Yang jelas, kuperingatkan, sebelum membaca buku ini, semoga kau mendapat sosok seperti Juang dalam hidupmu dalam versi terbaik yang cocok untukmu. Ketulusan hati Juang dan Ana memang dapat kita rasakan. Emosi yang terpancar sukses tersampaikan. Baca sajalah (karena membaca dapat menaikkan standarisasi hampir dalam segala hal, begitu kata buku ini) setuju atau tidak setuju dengan penilaianku, kau akan menemukan bagian dimana kau akan tersipu malu sekaligus tertawa geli akan gombalnya, dimana kau akan penasaran dengan apa yang terjadi selanjutnya, dimana kau akan risih dengan adegan menjengkelkan, bagian dimana kau akan turut bersuka duka, dan bagian dimana kau akan menjaid puitis mendadak setelahnya.
Berikut selusin potongan-potongan indah yang berhasil kurangkul:
1.
2. Beberapa mimpi memang harus tetap menjadi bunga tidur. Bukan untuk diwujudkan, hanya untuk dijadikan penghias malam. Beberapa rindu memang harus dibiarkan menjadi rahasia. Bukan untuk disampaikan, hanya untuk dikirimkan lewat doa.
3. bahwa keheningan pun mampu menyanyikan lagu merdu - Hal 27
4. Film terindah pun mesti berakhir walau tamatnya tidak indah.
5. Puncak gunung itu seperti cita-cita. Saat memulai perjalanan, kita harus berdoa sebelum melangkah. Kita terjatuh dan bangkit berulang kali. Kita menemukan siapa diri kita yang sesungguhnya. Dan misalkan kita gagal, bukan berarti perjuangan siasia. Kita belajar untuk jadi manusia yang lebih baik. - Hal 48-49
6.
3. bahwa keheningan pun mampu menyanyikan lagu merdu - Hal 27
4. Film terindah pun mesti berakhir walau tamatnya tidak indah.
5. Puncak gunung itu seperti cita-cita. Saat memulai perjalanan, kita harus berdoa sebelum melangkah. Kita terjatuh dan bangkit berulang kali. Kita menemukan siapa diri kita yang sesungguhnya. Dan misalkan kita gagal, bukan berarti perjuangan siasia. Kita belajar untuk jadi manusia yang lebih baik. - Hal 48-49
6.
7. Kebahagiaan tentu saja menular. Orang-orang sekitar merasakan pijar yang sama. - Hal 164
8.
9. Dan kebahagiaan, meski tak lama menetap tetaplah kebahagiaan - hal 196
10.
10.
11. Bukan seberapa lama wkatu kita yang akan dihitung, tapi seberapa banyak kebaikan yang mampu kita perbuat. - Hal 206
12. Waktu memberi tahu bahwa rasa sakit adalah risiko yang harus ditempuh dari mencintai.
12. Waktu memberi tahu bahwa rasa sakit adalah risiko yang harus ditempuh dari mencintai.