Rupiah yang berharga, mencintainya berarti...
Cinta berarti terpesona, terpikat, ingin memiliki, dan senantiasa menjaganya. Sama dengan rupiah. Rupiah merupakan mata uang negara kita, Indonesia. Berbicara mengenai rupiah, berarti kita membahas uang, baik uang kertas maupun uang logam. Uang pada dasarnya hanyalah benda yang digunakan untuk mempermudah tukar menukar barang. Uang menjadi standar yang diterima semua orang dalam transaksi barter. Namun semakin ke sini, peran uang menjadi lebih beragam. Siapa yang tidak terpikat, terpesona, dan ingin memiliki uang? Namun, jangan lupa ada poin penting setelahnya yaitu menjaganya. Cinta akan rupiah bukan berarti mencintai uang berlebihan dalam konotasi "mata duitan". Sejak kecil, kami telah diajarkan untuk mencintai rupiah. Penanaman sejak dini ini membuat kami lebih menghargai rupiah. Bagaimana cara mencintai rupiah versi pengalamanku?
1. Rupiah yang berharga
Perlu ditanamkan sejak kecil bahwa diperlukan usaha untuk mendapatkan uang. Sesuatu yang berharga tidaklah mudah untuk didapatkan, dan sesuatu yang sulit didapatkan sudah sepatutnya dijaga. Dengan menyadari berharganya uang, maka anak-anak sudah diajarkan hidup berhemat.
2. Semakin rapi, semakin mahal
Uang dinilai berdasarkan nominal yang tertera. Namun, uang yang lebih rapi memiliki nilai lebih dibanding uang yang sudah berubah warna walau nominalnya sama. Kebanyakan orang tidak peduli akan hal ini. Kakakku terkadang tidak mau menerima uang yang sudah berubah warna dan lecek. Bukan karena sombong, tapi ia berkedok bahwa uang seperti itu sudah menjadi sumber bakteri. Ia tidak sepenuhnya salah. Uang yang kotor dan tidak rapi juga menyulitkan dalam memastikan keaslian uang. Simpan uang dengan rapi dalam dompet. Jika memang terpaksa untuk melipat, maka lipat pula dengan rapi. Sudah sulit didapatkan tapi kenapa diperlakukan semena-mena?
3. Uang kertas bukanlah kertas
Uang kertas memang terbuat dari kertas khusus. Walau terbuat dari kertas, uang kertas bukan media menulis. Negara kita tidak kekurangan kertas sehingga kita diharuskan menulis di "uang". Orang tuaku telah mengingatkan kami untuk menulis nominal total uang di kertas lain dibanding harus mencacatinya. Mirisnya, beberapa uang kertas yang telah dicoret ditemukan di bank-bank yang berperan sebagai salah satu lembaga keuangan. Kebiasaan lain yang sering terjadi pada uang kertas yang telah dikelompokkan yaitu distreples. Estetika uang akan berkurang karena adanya bekas bolongan yang tercipta. Padahal telah dicontohkan saat kita menukar uang di bank, uang diikat menjadi satu dengan kertas yang telah ada total nominalnya.
4. Satu juta tidaklah satu juta kalau kurang seratus rupiah
Sering mendengar istilah tersebut? Istilah tersebut diperuntukkan agar kita lebih menghargai uang logam. Apakah kalian pernah bertransaksi lalu uang kembalian receh tidak diberikan? Atau uang receh diganti dengan permen? Hal seperti ini justru lebih sering ditemukan jika bertransaksi di minimarket, supermarket, department store, dan sekawannya. Dalam kacamata kami, itu salah satu perilaku yang tidak mencerminkan kecintaan akan rupiah. Uang logam sering dianggap lebih rendah dibandingkan uang kertas karena nominalnya. Namun, tetap saja itu uang. Jika memang enggan bertransaksi menggunakan uang logam, tabung saja di celengan. Jika sudah penuh, bukankah nominalnya juga besar? Kendala penggunaan uang logam ini juga terjadi tidak hanya saat berbelanja tapi saat menabung. Pengalaman ini kami alami sendiri ketika kami ingin menabung uang receh yang telah kami kumpulkan dan kami kelompokkan (untuk memudahkan perhitungan) berujung dnegan penolakan dari pihak bank. Kami pun mengalihkan penggunaannya untuk berbelanja, dan syukurlah masih ada orang terutama pelaku pasar dan pelaku transportasi yang masih merasa butuh akan uang receh. Padahal saya pernah membaca bahwa hal ini sebenarnya telah diantisipasi oleh pemerintah dengan terbitnya UU Tentang Mata Uang Nomor 7 tahun 2011 Pasal 33 Ayat 1 yang memberikan sanksi bagi pihak yang menolak pembayaran dengan uang logam.
5. Jangan mendua
Tolong jangan baper dengan poin kelima ini. Kakakku pernah memberikan saran agar kami menabung dengan mata uang berbeda dengan alasan "Ketika rupia melemah, kita dapat menukarnya kembali ke rupiah dan akan menjadi lebih banyak". Orang tuaku dengan serta merta menolaknya. Jujur saja tidak satu pun dari kami berlatar belakang ekonom namun menurut mereka itu mengurangi jumlah rupiah yang beredar di negara dan saat mata uang negara melemah kita justru memperparahnya. Terlepas dari benar atau tidaknya hal tersebut, kami pun mematrikan hati untuk tetap menabung dalam rupiah.
6. Gunakanlah rupiah si lambang kedaulatan
Saat mendengar kata "Yen" maka Jepang yang akan terbesit di benak kita. Begitu juga dengan Riyal-nya Saudi Arabia, atau Rupee-nya India. Rupiah juga begitu. Dengan kata lain mata uang telah menjadi identitas suatu negara. Turut berkontribusi menggunakan rupiah tentunya akan menguatkan nilai tukarnya dan mengangkat nama Indonesia.
Seperti semboyan yang digalakkan Bank Indonesia, "Cintai Rupiah, Bela Negara Tanpa Senjata." Yuk cintai rupiahmu!
7. Jangan dipermainkan
Bukan pengalamanku langsung, hanya baca dari cerita-cerita di sosial media. Ceritanya begini, seseorang melihat orang tua penjual asongan mendapat uang mainan yg selintas sangat mirip dengan uang asli. Sebenarnya tekstur kertasnya berbeda tetapi karena yang menerima uang sudah lanjut usia, ia pun tidak tahu telah tertipu. Miris ya. Terlepas dari benar terjadi atau tidaknya, tidak sepantasnya kita mempermainkan rupiah yang mengingat jerih payah mempertahankannya. Coba pikir, mana ada cinta yang mau dipermainkan?
Seperti semboyan yang digalakkan Bank Indonesia, "Cintai Rupiah, Bela Negara Tanpa Senjata." Yuk cintai rupiahmu!
0 komentar